Selasa, 30 Juli 2013

Peluang Usaha Peternakan Sapi

Usaha peternakan sapi potong pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya, permintaan pasar terus memperlihatkan peningkatan. Termasuk di pasar ekspor seperti ke Malaysia. Di negara jiran itu permintaan cenderung meningkat yang dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing ke tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya.
Indonesia dengan jumlah penduduk di atas 220 juta jiwa membutuhkan pasokan daging yang besar. Peternakan domestik belum mampu memenuhi permintaan daging dari warganya. Timpangnya antara pasokan dan permintaan, ternyata masih tinggi.
Tidak mengherankan, lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal pertanian termasuk peternakan, Deptan, mengakui masalah utama usaha sapi potong di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya.

Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju peningkatan populasi sapi potong dan pada gilirannya memaksa Indonesai selalu melakukan impor baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging dan jeroan sapi.
Menurut data Susenas (2002) yang dikeluarkan BPS, memperlihatkan konsumsi daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar 2,14 kg/kap/tahun. Konsumsi tersebut sudah memperhitungkan konsumsi daging dalam bentuk olahan seperti sosis, daging kaleng dan dendeng.
Dengan kondisi tersebut diperkirakan keadaan populasi 2009 hanya mampu memasok 80% dari total kebutuhan dalam negeri. Keadaan tersebut tentu sangat menghawatirkan karena suatu saat akan terjadi dimana kebutuhan daging sapi dalam negeri sangat tergantung kepada impor. Dengan demikian ketergantungan tersebut tentu akan mempengaruhi harga sapi lokal (datinnak).
Konono, menurut analisa Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), populasi sapi lokal Indonesoia, cenderung semakin menurun tanpa ada subtitusi dari impor sapi bakalan. Contoh pada 1997, populasi sapi lokal sebesar 11,9 juta ekor menjadi 11 juta ekor (8,2%) pada 2000 dikarenakan impor sapi bakalan terganggu krisis.
Semakin sulitnya sapi lokal memenuhi kebutuhan daging pada hari-hari besar keagamaan (Idul Fitri, Natal, dan tahun baru), tanpa dibantu oleh sapi impor (kasus 2001). Dan tiap provinsi sumber ternak mulai khawatir terhadap pupolasi sapi di daerahnya (Sulawesi Selatan, NTT, NTB, Jateng dan Jatim).
Kemudian adanya pemotongan sapi betina produktif. Pemerintah tidak mempunyai kewenangan apapun untuk mencegah sapi betina produktif untuk dipotong. Disinyalir 20%-30% dari jumlah sapi lokal yang dipotong adalah betia produktif.
Belum lagi akibat soal kualitas sapi lokal. Semakin menurun dengan terjadinya in-breeding diantara sapi lokal sehingga berat hidu psapi lokal semakin menurun (rata-rata 300 kg). Program cross breeding yang dilakukan selama ini tidak mengakibatkan peningkatan kualitas sapi lokal karena keterunannya (F-1) terus dipotong, bukan untuk dikembangbiakan kembali.
Kondisi itu, dengan sendirinya, membuat Indonesia harus mampu mendorong pertumbuhan produksi sapi sekaligus daging sapi. Arena kebutuhan daging sapi yang semakin meningkat, jika tidak disertai pertumbuhan populasi, mengakibatkan semakin banyaknya sapi lokal yang diptong termasuk sapi betina, sehingga jika tidak waspada Indonesia akan masuk dalam food trap. Di mana ketergantungan akan impor akan semakin besar dan pada akhirnya akan 100% tergantung impor.
Itu sebabnya, bisnis ternak sapi potong, menjadi salah satu lahan usaha yang prospektif. Salah satu contoh kasus di Provinsi Sumatra Barat. Saat ini, di provinsi itu, diyakini pertumbuhan komsumsi atas daging ternak sapi terus memperlihatkan trend meningkat namun belum mampu dipenuhi oleh produksi daging nasional.
Apalagi, produksi daging dari ternak sapi potong di Sumbar, berpotensi untuk diekspor ke sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura karena permintaan daging di kedua negara tersebut cenderung meningkat.
Peluang ekspor daging sapi ke Malaysia sangat terbuka karena permintaan di negara jiran itu cenderung meningkat. Hal itu dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing kepada tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya.
Bahkan, kenadti kebutuhan konsumsi daging sapi di Provinsi Sumbar sudah terpenuhi, budi daya ternak sapi potong di daerah ini tetap membaik karena hanya untuk memenuhi atau mengisi pangsa pasar daerah lainnya seperti Jambi, Riau dan Riau Kepulauan.
Target produksi daging tersebut mengacu kepada target hasil kesepakatan Widya Karya Pangan dan Gizi 10 KG per kapita per tahun (27,5% x daging sapi).
Dengan demikian, impor daging ke Sumbar tidak diperlukan lagi, sebaliknya Sumbar bersiap-siap untuk melakukan ekspor daging sapi ke sejumlah negara di Asia Tenggara.
Tahun lalu, Sumbar ditargetkan mampu memproduksi sedikitnya 12 juta kg daging sapi dengan populasi sapi potong sekitar 623.520 ekor.
Jumlah itu diperuntukkan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan komsumsi daging masyarakat daerah ini yang diperkirakan belum mencapai 10 juta kg per tahun.
Skala rumah tangga
Banyak sistem yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong. Salah satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga yang berbadan hukum resmi seperti koperasi.
Sistem ini termasuk sistem berskala besar karena jumlah sapi yang dibudidayakan bisa mencapai ratusan ekor, selain keuntungan yang diperoleh dari aplikasi sistem ini jauh lebih besar.
Tapi, boleh juga seperti yang dilakukan di Sumbar. Saat ini di provinsi itu, mulai berkembang sistem lain yakni ternak sapi potong berskala rumah tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga memudahkan sebuah rumah tangga mengembangkan usaha ternak sapi potong ini.
Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan kepada para peternak kecil skala rumah tangga tersebut sekaligus mengangkat masyarakat ekonomi lemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar