Usaha peternakan sapi potong pada saat ini masih tetap menguntungkan.
Pasalnya, permintaan pasar terus memperlihatkan peningkatan. Termasuk di pasar
ekspor seperti ke Malaysia. Di negara jiran itu permintaan cenderung meningkat
yang dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing ke tradisi memotong sapi
atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya.
Indonesia dengan jumlah penduduk di atas 220 juta jiwa membutuhkan pasokan
daging yang besar. Peternakan domestik belum mampu memenuhi permintaan daging
dari warganya. Timpangnya antara pasokan dan permintaan, ternyata masih tinggi.
Tidak mengherankan, lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal
pertanian termasuk peternakan, Deptan, mengakui masalah utama usaha sapi potong
di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap
tahunnya.
Menurut data Susenas (2002) yang dikeluarkan BPS, memperlihatkan konsumsi
daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar 2,14 kg/kap/tahun. Konsumsi
tersebut sudah memperhitungkan konsumsi daging dalam bentuk olahan seperti
sosis, daging kaleng dan dendeng.
Dengan kondisi tersebut diperkirakan keadaan populasi 2009 hanya mampu
memasok 80% dari total kebutuhan dalam negeri. Keadaan tersebut tentu sangat
menghawatirkan karena suatu saat akan terjadi dimana kebutuhan daging sapi
dalam negeri sangat tergantung kepada impor. Dengan demikian ketergantungan
tersebut tentu akan mempengaruhi harga sapi lokal (datinnak).
Konono, menurut analisa Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia
(Apfindo), populasi sapi lokal Indonesoia, cenderung semakin menurun tanpa ada
subtitusi dari impor sapi bakalan. Contoh pada 1997, populasi sapi lokal
sebesar 11,9 juta ekor menjadi 11 juta ekor (8,2%) pada 2000 dikarenakan impor
sapi bakalan terganggu krisis.
Semakin sulitnya sapi lokal memenuhi kebutuhan daging pada hari-hari besar
keagamaan (Idul Fitri, Natal, dan tahun baru), tanpa dibantu oleh sapi impor
(kasus 2001). Dan tiap provinsi sumber ternak mulai khawatir terhadap pupolasi
sapi di daerahnya (Sulawesi Selatan, NTT, NTB, Jateng dan Jatim).
Kemudian adanya pemotongan sapi betina produktif. Pemerintah tidak
mempunyai kewenangan apapun untuk mencegah sapi betina produktif untuk
dipotong. Disinyalir 20%-30% dari jumlah sapi lokal yang dipotong adalah betia
produktif.
Belum lagi akibat soal kualitas sapi lokal. Semakin menurun dengan
terjadinya in-breeding diantara sapi lokal sehingga berat hidu psapi lokal
semakin menurun (rata-rata 300 kg). Program cross breeding yang dilakukan
selama ini tidak mengakibatkan peningkatan kualitas sapi lokal karena
keterunannya (F-1) terus dipotong, bukan untuk dikembangbiakan kembali.
Kondisi itu, dengan sendirinya, membuat Indonesia harus mampu mendorong
pertumbuhan produksi sapi sekaligus daging sapi. Arena kebutuhan daging sapi
yang semakin meningkat, jika tidak disertai pertumbuhan populasi, mengakibatkan
semakin banyaknya sapi lokal yang diptong termasuk sapi betina, sehingga jika
tidak waspada Indonesia akan masuk dalam food trap. Di mana ketergantungan akan
impor akan semakin besar dan pada akhirnya akan 100% tergantung impor.
Itu sebabnya, bisnis ternak sapi potong, menjadi salah satu lahan usaha
yang prospektif. Salah satu contoh kasus di Provinsi Sumatra Barat. Saat ini,
di provinsi itu, diyakini pertumbuhan komsumsi atas daging ternak sapi terus
memperlihatkan trend meningkat namun belum mampu dipenuhi oleh produksi daging
nasional.
Apalagi, produksi daging dari ternak sapi potong di Sumbar, berpotensi
untuk diekspor ke sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan
Singapura karena permintaan daging di kedua negara tersebut cenderung
meningkat.
Peluang ekspor daging sapi ke Malaysia sangat terbuka karena permintaan di
negara jiran itu cenderung meningkat. Hal itu dipicu oleh bergesernya tradisi
memotong kambing kepada tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan
keluarga atau perayaan lainnya.
Bahkan, kenadti kebutuhan konsumsi daging sapi di Provinsi Sumbar sudah
terpenuhi, budi daya ternak sapi potong di daerah ini tetap membaik karena
hanya untuk memenuhi atau mengisi pangsa pasar daerah lainnya seperti Jambi,
Riau dan Riau Kepulauan.
Target produksi daging tersebut mengacu kepada target hasil kesepakatan
Widya Karya Pangan dan Gizi 10 KG per kapita per tahun (27,5% x daging sapi).
Dengan demikian, impor daging ke Sumbar tidak diperlukan lagi, sebaliknya
Sumbar bersiap-siap untuk melakukan ekspor daging sapi ke sejumlah negara di
Asia Tenggara.
Tahun lalu, Sumbar ditargetkan mampu memproduksi sedikitnya 12 juta kg
daging sapi dengan populasi sapi potong sekitar 623.520 ekor.
Jumlah itu diperuntukkan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan komsumsi
daging masyarakat daerah ini yang diperkirakan belum mencapai 10 juta kg per
tahun.
Skala rumah tangga
Banyak sistem yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong.
Salah satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga yang
berbadan hukum resmi seperti koperasi.
Sistem ini termasuk sistem berskala besar karena jumlah sapi yang
dibudidayakan bisa mencapai ratusan ekor, selain keuntungan yang diperoleh dari
aplikasi sistem ini jauh lebih besar.
Tapi, boleh juga seperti yang dilakukan di Sumbar. Saat ini di provinsi
itu, mulai berkembang sistem lain yakni ternak sapi potong berskala rumah
tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga memudahkan sebuah rumah
tangga mengembangkan usaha ternak sapi potong ini.
Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang sebagai bentuk
usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan kepada para peternak kecil
skala rumah tangga tersebut sekaligus mengangkat masyarakat ekonomi lemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar