I. PENDAHULUAN
Salah satu potensi besar yang ada di
perairan Indonesia yang mempunyai prospek cerah untuk dibudidayakan adalah
tiram mutiara (Pinctada maxima). Sampai saat ini eksploitasi tiram mutiara
masih didominasi oleh penangkapan dari alam. Benih dari alam mempunyai
karakteristik antara lain ukuran yang sangat bervariasi, dimana untuk ukuran
besar dapat langsung siap operasi sedangkan untuk ukuran kecil masih perlu
dibudidayakan lagi.
Selain itu juga kontinuitas suplai kurang terjamin karena keberadaan tiram mutiara dipengaruhi oleh musim. Hal ini sangat tidak menguntungkan karena tidak dapat menjamin kontinuitas produksi; keberadaan tiram mutiara dipengaruhi oleh musim, dan jika dieksploitasi terus menerus lama-kelamaan stock benih tersebut pasti akan menurun.
Selain itu juga kontinuitas suplai kurang terjamin karena keberadaan tiram mutiara dipengaruhi oleh musim. Hal ini sangat tidak menguntungkan karena tidak dapat menjamin kontinuitas produksi; keberadaan tiram mutiara dipengaruhi oleh musim, dan jika dieksploitasi terus menerus lama-kelamaan stock benih tersebut pasti akan menurun.
Kelangkaan tiram mutiara dan permintaan pasar mutiara yang terus meningkat telah mendorong perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam usaha budidaya tiram mutiara membutuhkan suplay tiram dalam jumlah besar untuk calon operasi (suntik), permintaan pasar pada umumnya berkisar pada ukuran tiram di atas 6 cm, dimana harganya mencapai Rp,.2.000,-/cm. Menghadapi situasi yang demikian sangatlah perlu diusahakan kegiatan yang mengarah pada kegiatan menghasilkan tiram mutiara ukuran 6-7 cm.
Kabupaten Lombok Barat dengan luas
wilayah 2.215,11 km2 terdiri dari dari wilayah darat seluas
862,62 km2 dan perairan seluas 888,96 km2 yang
dikelilingi garis pantai sepanjang 120 km serta pulau-pulau kecil (Gili)
sebanyak 23 buah dan gosong (taket) sebanyak 62 buah, yang terbentang dari utara
ke selatan dengan luas potensi pengembangan komoditas laut sekitar 2900 ha.
Bertitik tolak pada uraian diatas,
maka untuk meningkatkan produksi dan produktivitas potensi lahan budidaya yang
belum termanfaatkan, serta untuk mengurangi kemiskinan masyarakat sekitar, maka
kegiatan budidaya pendederan tiram mutiara di Kabupaten Lombok Barat ini dapat
dikembangkan. Di samping itu, Lombok Barat terdapat beberapa perusahaan besar
yang bergerak di bidang budidaya tiram mutiara sehingga dalam pemasaran hasil
produksi akan berjalan dengan lancer dan berkelanjutan.
II.TUJUAN
Tujuan
: Pengembangan budidaya tiram
mutiara dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas lahan di Kabupaten
Lombok Barat
Input
: Anggaran biaya untuk penyediaan input produksi seperti sarana dan prasarana
dan
benih,
Output
: Termanfaatkannya potensi lahan budidaya tiram mutiara.
Outcome
: Meningkatkan produksi tiram mutiara, meningkatkan produktivitas lahan budidaya,mengurangi
jumlah angka pengangguran serta meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat.
III. TEKNIK BUDIDAYA TIRAM
MUTIARA (Pinctada maxima)
Metoda budidaya yang akan diterapkan
sangat mendukung keberhasilan suatu usaha. Saat ini metoda budidaya tiram
mutiara yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan Keramba Jaring Apung
(KJA).: Dalam pelaksanaan kegiatan budidaya diperlukan sarana dan prasarana
agar dapat memperlancar pelaksanaan kegiatan usaha budidaya tersebut. Adapun
sarana dan prasarana yang digunakan dalam pembesaran tiram pada KJA adalah
sebagai berikut :
1. Sarana dan
prasarana budidaya
a. Kerangka Rakit
Kerangka/rakit berfungsi untuk
menggantungkan media pemeliharaan spat/siput tiram. Kerangka rakit dapat
terbuat dari bahan bambu, kayu atau pipa besi yang telah dicat anti karat.
Pemilihan bahan pembuat kerangka rakit ini tergantung pada ketersediaan bahan
dilokasi. Bentuk dan ukuran kerangka rakit bervariasi tergantung dari jumlah
spat yang akan dipelihara. Sebuah rakit biasanya terdiri empat – delapan buah
lubang.
b. Pelampung
Pelampung berfungsi untuk
mengapungkan keseluruhan sarana budidaya, dapat digunakan pelampung dari bahan
drum plastik, drum besi, atau sterofoam. Ukuran dan jumlah pelampung yang
dipergunakan sesuai dengan besarnya beban dan daya apung dari pelampung,
misalnya sebuah rakit dari ukuran bambu yang tediri dari enam buah
kurungan apung (3x3x3 m) diperlukan pelampung drum plastik/drum besi
volume 200 liter sebanyak 12 buah. Pelampung diikatkan pada rakit dengan tali polyethylene
(PE) yang bergaris tengah 0,8–1,0 cm.
c. Spat kolektor
Spat kolektor adalah bahan yang
digunakan untuk tempat menempel spat, yang terbuat dari bahan serabut tali PE (PolyEthylene),
asbes gelombang, atau bilah pipa peralon. Jika bahan kolektor dari bahan
serabut tali atau bahan lain yang berbentuk serabut, maka harus digunakan
tempat dari kerangka besi/kawat ukuran 40-50 cm. Penggunaan bilah pipa peralon
dapat dibuat dengan cara : pipa peralon dengan panjang 30 – 50 cm dan diameter
2-3 inci dibelah menjadu dua, selanjutnya bilah-bilah pipa diikat dengan tali
sepanjang 40-50 cm.
d. Keranjang Pemeliharaan
Pemeliharaan siput dapat dilakukan
pada keranjang-keranjang pemeliharaan yang digantung pada rakit terapung. Bahan
yang digunakan untuk keranjang biasanya terbuat dari kawat tahan karat atau
jaring. Keranjang pemeliharaan induk terbuat dari kawat galvanizer, atau
yang lebih baik lagi jika dilapisi plastik atau aspal, sehingga daya tahannya
dapat mencapai 2 – 2,5 tahun. Ukuran keranjang 25 x 25 x 60 cm. Satu keranjang
pemeliharaan dapat diisi siput ukuran 6 -8 (DVM) sebanyak 15 ekor.
Sedangkan untuk pendederan atau
pemeliharaan spat yang baru dipindah dari hatchery dapat digunakan
keranjang jaring ukuran 40 x 60 cm. Spat berukuran 2 – 3 cm (DVM) dipelihara
dalam keranjang dengan lebar mata jaring 0,5 – 1 cm. Lebar mata jaring yang
digunakan hendaknya disesuaikan dengan ukuran spat, semakin besar ukuran spat
maka semakin besar pula ukuran mata jaring, sehingga sirkulasi air dapat
terjaga dengan baik.
e. Jangkar
Jangkar berfungsi untuk menahan
keseluruhan sarana budidaya agar tetap pada tempatnya. Jangkar yang digunakan
harus mampu menahan sarana budidaya dari pengaruh arus, angin, gelombang.
Jangkar dapat dibuat dari besi, kurungan yang berisi pasir atau blok
semen/beton.
Pemakaian jenis dan jumlah jangkar
tergantung dari jumlah besarnya arus/angin, kondisi dasar perairan, kedalaman
air dan besarnya sarana budidaya. Tali pengikat jangkar dapat digunakan tali
polythlene dengan diameter 3–5 cm dan panjangnya 3–4 kali dari kedalaman
perairan.
f. Prasarana
Prasarana yang digunakan untuk
mendukung usaha pendederan tiram mutiara terutama untuk mendukung kelancaran
kegiatan. Prasarana tersebut meliputi transportasi darat untuk benih dan hasil
panen yang akan dijual, listrik untuk penerangan, gudang penyimpanan barang,
serta mess darat, air tawar untuk konsumsi, mencuci peralatan kerja dan,
telepon untuk komunikasi dengan dunia luar seperti transaksi pengadaan benih
atau penjualan hasil panen.
III. ANALISIS USAHA PRODUKSI TIRAM
MUTIARA UKURAN 5-7 cm
Kegiatan pendederan tiram mutiara
yang akan dilakukan adalah terfokus untuk kegiatan pendederan dimana target
produksinya adalah menghasilkan siput/tiram ukuran 5-7 cm untuk setiap siklus
produksi. Sebelum memulai suatu kegiatan usaha, maka harus melakukan analisis
berdasarkan pengalaman teknis pada saat bekerja dan studi banding dengan
beberapa literatur yang ada, sehingga rencana usaha dan target yang ditetapkan
tentunya sangat komperensif dan real sesuai dengan kondisi lapangan saat
ini. Adapun asumsi dan persyaratan dalam analisis usaha ini, adalah sebagai
berikut :
Dalam satu siklus membutuhkan waktu
6-8 bulan.
Penebaran spat kolektor sebanyak
120.000 spat/300 kolektor dengan ukuran spat 2-4 mm, kepadatan rata-rata 400
spat/kolektor. Dengan harga kolektor Rp.30.000,/kg.
- Jumlah kolektor yang turun laut sebanyak 300 kolektor (substrat penempelan spat ukuran 30x40 cm)
- Asumsi rata-rata pertumbuhan spat : panjang 1 cm/bulan
- Tingkat kelangsungan hidup (SR) 17 %
- Pemanenan dilakukan ketika waktu pemeliharaan sudah mencapai 6-7 bulan (1 siklus) dengan rata-rata panjang lsiput 5-7 cm/ekor, dan jumlah total panen sebanyak 20.400 ekor siput. Sedangkan harga jual siput ukuran 5-7 cm adalah Rp.2.000,-/cm.
- Asumsi-asumsi teknis diatas diambil dengan tingkat yang paling rendah, maka di dalam pelaksanaan kegiatan usaha budidaya, nilai produksi bisa jadi akan lebih tinggi dari asumsi diatas.
- Kelayakan usaha diperhitungkan berdasarkan Analisa laba rugi, B/C ratio, Break Even Point (BEP), dan Pay Back Periode (PBP).
Didalam kegiatan usaha pendederan
tiram dibutuhkan kajian atau analisis usaha. Analisa usaha merupakan
perhitungan keuangan untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan suatu usaha.
Pada analisa usaha pendederan tiram mutiara dimulai dengan menghitung biaya
yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha dan keuntungan yang diperoleh dari
usaha tersebut. Adapun biaya-biaya yang dihitung adalah :
A. Biaya
Investasi dan Penyusutan
Investasi awal merupakan modal yang
harus disediakan sebelum melakukan kegiatan produksi atau usaha yaitu pada
tahun ke-0 (tahun pendirian usaha). Unsur-unsur yang termasuk dalam biaya
investasi yaitu peralatan berhubungan dengan produksi dan harus disediakan
sebelum proses produksi dimulai. Biaya investasi yang dibutuhkan untuk
menjalankan usaha pendederan tiram mutiara adalah Rp.176.500.000,- dan biaya
penyusutannya adalah Rp.14.659.259,-/siklus.
B. Biaya Operasional
Biaya operasional dibagi menjadi dua
macam yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variabel
cost). Biaya tetap yang dikeluarkan untuk menjalankan usaha pendederan
tiram tiap siklusnya adalah sebesar Rp.33.112.666,- dan biaya tidak tetapnya
adalah Rp.26.480.000,-
C. Analisa
Laba Rugi
Hasil produksi menghasilkan siput
sebanyak 20.400 ekor/siklus. Perhitungan penjualannya adalah :
-
Siput ukuran 5 cm x Rp.2.000/cm x 5000 ekor = Rp.50.000.000,-
-
Siput ukuran 6 cm x Rp.2.000/cm x 10.000 ekor = Rp.120.000.000,-
-
Siput ukuran 7 cm x Rp.2.000/cm x 5.400 ekor = Rp.75.600.000,-
Total
Produksi
= Rp.245.600.000,-
Jadi pendapatan yang diperoleh dalam
1 siklus sebesar Rp.245.600.000,-
Analisa laba
rugi
= Pendapatan – Biaya Total Operasional
= Rp.245.600.000,- Rp.52.725.259
= Rp.192.874.741,-
Jadi, usaha pendederan tiram mutiara
mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp.192.874.741,-/siklus.
D. Benefit Cost Ratio
(B/C ratio)
Analisis B/C ratio dapat
digunakan untuk menilai layak tidaknya suatu usaha untuk dijalankan. Bila nilai
B/C yang diperoleh sama dengan 1 (satu), berarti titik impas (cash in flows
sama dengan cash out flows), sehingga perlu pembenahan. Jika nilai B/C ratio
lebih besar dari 1 (satu) berarti gagasan usaha/proyek tersebut layak untuk
dikerjakan dan jika lebih kecil dari 1 (satu) berarti tidak layak untuk dikerjakan.
B/C ratio
= Rp.245.600.000
(Total Pendapatan) : Rp.52.725.259 (Total Biaya Operasional)
= .4.65 (feasible)
Dari perhitungan B/C ratio
dapat diketahui bahwa nilai B/C ratio pada usaha pendederan tiram
mutiara tersebut menguntungkan atau feasible (go) untuk
dijalankan yaitu pada angka 4.65 Artinya setiap biaya yang dikeluarkan Rp. 1,-
akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp.4,65,-. Bila B/C ratio < 1
usaha tidak layak untuk dijalankan, B/C ratio > 1 usaha tersebut menguntungkan
sehingga usaha dapat dilanjutkan.
E. Break
Even Point (BEP)
Perhitungan BEP digunakan untuk
menentukan batas minimum volume produksi dan minimum harga penjualan pasar
dimana pada titik tersebut proyek tidak untung dan tidak rugi (total revenue
= total cost). Selama proyek/perusahaan masih berada di bawah titik BEP,
selama itu juga perusahaan tersebut masih mengalami kerugian.
Untuk menghitung BEP dapat digunakan
rumus dibawah ini :
Break Even Point
produksi : = Rp.52.725.259 : Rp.12.000 (harga rata-rata per siput)
= 4.340 ekor/siklus
Break Even Point
harga: = Rp.52.725.259 : 20400 ekor
= Rp,2.584,/ekor.
Maka, usaha pendeeran tiram mutiara
akan mengalami titk impas ( BEP ) pada saat produksi menghasilkan 4.340
ekor/siklus dan harga jual Rp 2.584,/ekor.
F. Analisa Pay Back Period ( PBP )
Analisa Pay Back Period
adalah waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk mengembalikan investasi.
Suatu indikator yang dinyatakan dalam ukuran waktu yaitu berapa lama waktu yang
diperlukan untuk mengembalikan modal investasi yang dikeluarkan. Semakin cepat
dalam pengembalian biaya investasi sebuah proyek, semakin baik proyek tersebut
karena semakin lancar dalam perputaran modal.
V. Kesimpulan
Dari hasil analisis usaha budidaya
tiram mutiara dengan anggaran biaya investasi Rp.882.500.000, biaya operasional
per siklus produksi Rp.263.626.259,- akan memanfaatkan potensi lahan budidaya
seluas 860 m2, dengan pemberdayaan anggota kelompok 25 orang,
kebutuhan benih/spat tiram mutiara 600.000 spat/siklus, dengan target produksi
sebanyak 102.000 ekor/siklus dan tentunya akan memberikan pendapatan bagi
masyarakat (anggota kelompok) sebesar Rp.38.574.948/orang/siklus.
Semoga Bemanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar